Rabu, 08 Januari 2014

Menjadi Muslim Yang Cerdas

Bismillah...


Bertaqwalah kepada Allah sebagaimana rasulullah lakukan dan tiga generasi sesudahnya bertaqwa (Sahabat, Tabiien, Tabiut taabiien).
Tuntutlah ilmu sebagaimana cara para sahabat menuntut ilmu, kita harusnya sadar jarak kita dengan Rasulullah sudah terlampau jauh, ini bisa menyebabkan kesalahan tafsir perbedaan pendapat, dan hal lainya


Secara pribadi, saya prihatin banyak da'i yang masih belum benar-benar memahami islam secara mendalam namun sudah mengisi program acara di televisi nasional. Sedangkan da'i yang keilmuan islamnya sudah bisa dibilang capable malah hampir tidak memiliki kesempatan berbicara dimedia.



Media adalah faktor penting untuk menggerakan, mempengaruhi dan menyampaikan informasi kepada masyarakat luas, jika informasi yang disampaikan salah maka Na'udubillah himindzalik.

Di postingan kali ini, saya kembali mengingatkan mari menjadi muslim yang cerdas, mari mendengarkan dengan hati dan pikiran yang jernih agar dijaman sekarang kita tidak mudah terjerumus pada hal yang bathil.

Saya pernah menoton sendiri acara dakwah di sebuah televisi nasional, seorang penceramah mengatakan bahwa yang dia bilang adalah sebuah hadits, namun jelas sekali salah yang barusan dia ucapkan adalah sebuah peribahasa arab bukan hadits, hal seperti ini harusnya sudah dia ketahui. 


Baik, anggap saja kita tidak miliki kuasa untuk merubah format acara di televisi tersebut namun kita tetap bisa menjadi pendengar muslim yang cerdas. Tips berikut bisa memudahkan kita untuk mengetahui kualitas seorang pendakwah dan menjauhkan kita dari informasi yang salah tentang islam....


  • MELAKUKAN SUNNAH


Sunnah itu adalah perilaku, kebiasaan Rasulullah. Secara fiqih iya, sunnah bila ditinggalkan tidak berdosa. Para penuntut ilmu jaman dahulu, sebelum belajar dengan seorang ulama, biasanya orang itu akan sampai menginap sampai tiga hari untuk mengetahui bagaimana ulama ini mengamalkan sunnah. Bila dianggap sesuai, baru mau belajar. Tentu dizaman sekarang tidak bisa diterapkan cara seperti ini, tapi mudahnya adalah dengan mengetahui ciri-ciri fisik (yang sesuai sunnah), gaya bicara (menunjukkan akhlak), dan cara mengajar (menunjukan kedalaman ilmu). Sesungguhnya orang yang berilmu pasti omongannya akan selalu berdasarkan (menyebut) ayat Quran atau Hadits, atau referensi ijtihad ulama-ulama besar terdahulu. 


Dari perkataan sebelumnya kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :

من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; 

(2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); 
(3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan 
(4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].